Meraih Sakinah

August 25, 2008

Sebelumnya saya sangat berterima kasih kepada Bapak Drs. M. Ikhbal Irham, MA yang menulis buku ini. Menurut saya sangat bermanfaat dan mengandung pelajaran yang berharga, makanya saya ijin untuk menulisnya sebagian dari isi buku tersebut untuk saya tuangkan dalam blog saya, siapa tau bisa bermanfaat bagi orang lain terutama buat diri saya sendiri.

Sesuatu apapun yang terjadi pada diri kita setiap saat bahkan apa yang kita kerjakan akan selalu ada hikmahnya. Yang akhirnya bisa menjadi bermanfaat atau bahkan menjadi merugi, tergantung dari diri kita yang menjadi pelaku yang semuanya digerakkan oleh hati kita, jalan fikiran mana yang harus kita ikuti. Jika kita mengikuti kata hati yang tidak baik tentunya dibelakang hari yang kita dapati adalah kerugian walau bisa dilakukan hanya dengan sesaat. Namun jika kita mengikuti kata hati yang baik, mungkin memerlukan usaha dan tantangan dan bahkan memerlukan waktu dan pengorbanan, namun akan mendatangkan keuntungan yang akan bermanfaat bagi diri kita sendiri atau bahkan juga bermaanfaat bagi orang lain.

Pada hari itu saya sedang mengisi tinta refile ke salah satu tempat, yang tentunya saya cari jarak terdekat dari tempat saya bekerja. Nah sambil menunggu tinta diisi saya iseng-iseng sambil membaca-baca buku yang disediakan untuk pengunjung . Salah satu judul buku itu menggerakkan hati saya untuk membaca karena saya lihat judulnya “Meraih Ketentraman Jiwa” wah ini bagus juga dalam hati saya, dan setelah saya baca ternyata saya tertarik karena didalam buku tersebut mengandung banyak pelajaran filsafat yang baik buat kehidupan kita. Buku tersebut karangan Drs. M. Ikhbal Irham, MA. Salah satunya yang akan saya tuangkan di sini bertema “Meraih Sakinah”. Dalam bukut tersebut disebutkan bahwa Untuk Kata Sakinah ternyata mengandung beberapa pengertian yang yang terkandung berdasarkan dari berbagai sumber atau Tafsir yang berbeda. Salah satu dari tafsir tersebut menyebutkan bahwa Sakinah itu adalah (Ridho, kerelaan hati, rendah hati/tawadhu’). Diantara yang saya ambil dari arti Sakinah adalah Tafakur dan Ketenangan hati yang saya tulis berikut ini :

Tafakur

Diceritakan Pan Aiying, seorang guru wanita yang di middle school di satu propinsi di China, yang baru saja keluar dari sekolah tempat ia mengajar, dijambret ditengah jalan. Sang guru terkejut dan hampir menjerit. Tas yang disandangnya diambil secara paksa. Di dalamnya ada kartu pengenal (KTP), uang sejumlah hampir AS $ 600, dan sebuah handphone. Ia memandangi sang penjambret, sang lelaki muda.

Segera berfikir untuk melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi terdekat. Tetapi niat ini diurungkannya (mungkin ia menyadari bahwa melapor ke polisi justru akan menyusahkan dirinya sendiri). Dengan meminjam handphone temannya, ia mencoba mengirim pesan lewat SMS kepada sang penjambret lewat nomor hp-nya yang ada di dalam tasnya yang hilang. Ia menulis dua puluh satu (21) pesan secara beruntun.

Hal yang menarik adalah, seluruh kalimat-kalimatnya tidak menggunakan bahasa yang penuh kemarahan, kasar, cacian atau makian. Ia justru menggunakan kata-kata yang menyentuh hati sang penjambret. Diantara isi SMS yang dikirimnya berbunyi : “Anda ternyata masih cukup muda. Dan jika anda sedang berada dalam kesulitan, saya akan memaafkan anda”. “Mencuri itu adalah sebuah kesalahan, tetapi tidak ada kesalahan yang tak dapat dimaafkan”. “Adalah lebih baik berfikir ke masa depan dan memperbaiki diri. “Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan menjadi orang baik”.

Sayangnya tidak satupun SMS Pan Aiying yang dibalas oleh si penjambret. Sehingga tetelah SMS yang ke dua puluh satu, Pan Aiying sangat terkejut. Di depan pintu rumahnya ia menemukan tasnya kembali. Ketika membuka tas dan melihat isinya dengan cermat, ternyata tidak ada satupun barang-barangnya yang hilang. Bahkan ia menemukan tambahan, sepucuk surat. Perlahan ia buka surat itu dan membacanya. Bunyi surat itu seperti ini :

“Pan Aiying, saya mohon maaf karena telah menyakiti hati Anda. Terimakasih Anda telah menyadarkan saya dari kekeliruan selama ini. Sejak saat ini saya berjanji untuk memperbaiki dan mengubah hidup saya. Saya bertekad untuk menjadi orang baik. Terimakasih.

Ketenangan Hati

Kisah di atas sesungguhnya adalah satu episode dari kehidupan anak manusia. Apa yang dialami oleh Pan Aiying, mungkin pernah kita rasakan yakni kehilangan harta benda atau sesuatu yang kita sayangi. Di sinilah tampaknya kita bisa belajar dari kejadian yang menimpa guru sekolah setingkat SMP ini.

Pertama, hidup ini adalah kumpulan dari berbagai kejadian yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Semua orang akan mengalami hal yang sama. Dan Allah sudah menggilirkan semua itu pada setiap manusia.

Dan masa-masa/hari-hari (kejayaan-kehancuran, kesenangan-kesusahan) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”(QS. Ali Imran, 3 : 140).

Dalam kehidupan ini, semuanya datang silih berganti. Ada saatnya senang dan jaya, tetapi ada saatnya pula susah dan mengalami penderitaan. Tidak ada manusia yang terus menerus dalam keadaan senang dan sebaliknya tidak manusia yang menderita secara permanen. Kalau ditanya maka setiap orang ingin selalu bahagia dalam hidupnya. Tetapi mungkinkah setiap saat kita mengalami hal-hal yang menyenangkan?

Ketika mengalami sesuatu yang menyenangkan, maka kita pasti merasakan bahagia. Hati kita akan terbuka. Wajah akan berubah cerah. Perilaku menjadi riang. Hidup terasa semakin lapang. Dan sesungging senyum akan selalu bertengger di bibir kita. Namun saat disakiti umumnya semua orang akan marah, kecewa dan berang. Hati kita menjadi sesak. Wajah berubah menjadi berkerut dan “persegi empat”. Hidup terasa kian sempit. Kita semakin mudah marah dan tersinggung.

Perilaku dan sikap kita beubah terlalu cepat seiring perjalanan hari-hari yang kita rasakan. Padahal jika mencermati ayat di atas, maka kita akan meyakini bahwa di dunia ini sesungguhnya tidak ada kesenangan yang abadi. Begitu juga tidak ada kesengsaraan yang abadi. Semuanya akan berakhir seiring dengan perjalanan waktu. Lalu, mengapa kita harus selalu sewot jika hanya mengalami penderitaan yang sebentar dan pasti akan berakhir?

Kedua, hal yang terjadi pada Pan Aiying yang merupakan salah satu episode dari keseluruhan perjalanan hidupnya, sesungguhnya juga merupakan episode yang pasti terjadi pada setiap orang. Namun mengapa Pan Aiying mampu meredam amarahnya pada sang penjambret dan tetap menggunakan kata-kata yang “menyejukkan” dlam pesan SMS nya? Apakah karena dia seorang guru sehingga lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan dan tindakan? Bukankah di sekitar kita masih banyak guru yang juga tidak mampu meredam emosi dan kemarahannya pada anak didik dan orang lain? Dan bukankah kita juga “guru” bagi adik-adik, anak-anak dan keluarga?

Mari kita ambil contoh dalan keseharian kita. Misalkan seorang Ibu yang sedang hamil. Tanyalah pada mereka, apakah hamil itu sendiri enak dan menyenangkan? Atau justru melelahkan? Ya, kita akan mendapatkan jawaban dari sebagian besar mereka bahwa hamil itu berat dan sakit. Ibu yang sedang hamil mudah mengalami kelelahan, capek dn kekuatan fisik terkadang menurun. Apalagi dari hari ke hari sang bayi semakin membesar dan tentu memberatkan. Jangankan untuk berjalan cepat, berjalan santai juga capek. Jangankan duduk lama, berbaringpun juga terasa mengganggu. Walhasil, hamil itu memang tidak menyenangkan. Tetapi benarkah kesimpulan ini?

Jika dikatakan bahwa hamil itu berat, maka jawabannya “ya”. Tetapi jika ditanyakan pada para ibu, maka umumnya mereka akan menjawab bahwa mereka BAHAGIA dengan kehamiloan mereka yang nyata-nyata “menyakitkan”. Bahkan pada waktu akan melahirkan, penderitaan itu bertambah berkali lipat dari waktu-waktu sebelumnya. Sehingga wajar jika dikatakan bahwa melahirkan adalah perjuangan antara hidup dan mati. Dan memang ada diantara ibu-ibu yang meninggal dunia setelah melahirkan. Namun dalam kenyataannya, penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa itu, ternyata tidak pernah menyurutkan ibu-ibu untuk hamil lagi. Mereka seakan melupakan semuanya, segera setelah melihat bayi yang mereka lahirkan dalam keadaan sehat wal’afiat. Lalu mengapa mereka bisa bahagia?

Bahagia ternyata tidak selalu berkaitan dengan kenyamanan, kekayaan materi, kesehatan, ketampanan atau kecantikan. Bagi Franklin, mengutip dari Jalaluddin Rahmat, happiness is not more possession of money; it lies in the joy of achievement, in the thrillof creative effort, kebahagiaan tidak terletak pada kepemilikkan uang semata; kebahagiaan terletak pada kegembiraan pencapaian, pada getaran upaya kreatif. Bahagia dimulai dari ketenangan hati dalam menerima suatu peristiwa dan menunjukkan sikap yang tenang dalam menikapi atau memberikan respon terhadap peristiwa tersebut. Semakin tenang hati kita, maka akan semakin bahagia kita. Sebaliknya jika hati kita tidak tenang, maka kehidupan ini terasa runyam dan tidak menyenangkan. Bahagia ternyata adalah ; “a goodthing in our mind/hear”, sesuatu yang indah di dlam hati dan pikiran kita.

Ketiga, ketenangan Pan Aiying dalam merespon masalah yang dihadapinya, ternyata berbuah hal yang luar biasa. Ia tidak berkata kasar dan mencaci maki sipenjambret. Sebaliknya ia justru ‘menyentuh hati’ yang terdalam anak muda itu. Hasilnya, tas dan seluruh isinya kembali ke pangkuan Pan Aiying dalam keadaan utuh, tidak kurang sedikitpun. Bahkan sang penjambret meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya, sekaligus berterimakasih pada Pan Aiying karena telah memberikan sebuah kesadaran kepadanya. Lebih dari itu, ia kemudian berjanji untuk merubah kekeliruannya selama ini dan berjanji untuk menjadi orang baik. Luar biasa……

Semoga Cerita tersebut bisa menyadarkan kita untuk bisa introspeksi diri dan menjadikan kita orang yang sabar, pemaaf, tafakur, ridho terhadap segala sesuatu yang kita alami dalam kehidupan ini.


Tarekat Qodiriyah

October 3, 2007
Tarekat Qodiriyah

Sekilas Tarekat Qodiriyah
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.

Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.

Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.

Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.

Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.

Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.

Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.

Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.

Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.

Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.

Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.

Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12. Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17. Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36. Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.

sumber dari : sufinews.com